.:Selamat Datang di Kholish Blog's. Situs Resmi Wahidul Kholish Assaumi:.
BannerFans.com

Kamis, 06 Januari 2011

Hujan Kejutan di Musim Panas

Oleh : Wahidul Kholis Assaumi
05 Agustus 2009
“bang Taufiq, kapan kita berangkat? Katanya habis ashar? Koq dari tadi nggak berangkat-berangkat?” tanyaku yang mulai kesal. “habis ashar khan sampai maghrib, ente tunggu saja. Nanti kalau sudah kumpul semua, kita langsung berangkat” jawab bang Taufiq dengan enteng. Hufh… Sore itu aku benar-benar dibuat kesal dengan jam karet ala masisir . Janji sudah ashar, sampai pukul 17.30 pun belum juga berangkat. Lagi-lagi kulirik jam di handphoneku, rupanya sudah hampir 2 jam aku menunggu. Sesuai informasi yang aku terima dari ketua IPQI melalui kontak telpon, sore ini akan ada penampilan Ibtihalat perdana untuk periode 2009/2010 di Embaba .
“ayo semuanya, kita turun, mobil sudah menunggu di bawah.” ajak bang Sholah, ketua IPQI yang baru terpilih. Akhirnya penantianku berujung juga. Kami pun segera bergegas turun dari lantai 3 sekretariat IPQI Mesir di bilangan Distrik 10, Nasr City. Lengkap dengan seragam koko biru, ditambah dengan peci hitam khas Indonesia, kami berangkat menuju Embaba yang terletak di Provinsi Giza, bagian utara Mesir..
Aku tidak tahu seperti apa Embaba itu, apakah sebuah perkampungan, atau sama seperti Distrik 10 Nasr City, karena ini adalah awal perjalananku. Aku juga tidak tahu seperti apa penampilan yang akan kami tampilkan nanti, lagi-lagi karena ini adalah awal perjalananku. Aku bisa dibilang orang yang sangat beruntung, sejak bergabungnya aku di IPQI Mesir di awal Agustus, aku sudah dipercaya untuk ikut tampil di acara orang Mesir. Padahal waktu itu aku baru bergabung satu minggu. Awalnya ketika ketua IPQI menelponku, aku sempat terkejut, koq bisa orang yang baru bergabung seperti aku diajak nampil di acara orang Mesir. Ketika kutanya, acara apa, bang Sholah yang menelponku menjawab “acara Nisfu Sya’ban, dek. Kita butuh ente ne. Sekalian ente mengenal budaya Mesir.” Tidak butuh waktu lama untuk mengiyakan ajakan bang Sholah, ketika itu juga aku menyanggupinya, “insya Allah bang, aku ikut” jawabku dengan muka berseri-seri. “tapi apa yang mau ditampilkan bang? Aku kan belum banyak hafal teks sholawatnya” tanyaku. “santai aja. Nanti ikut saja yang hafal, gampang itu” balas bang Sholah.
Butuh waktu 30 menit untuk sampai di Embaba. Ketika sampai di tujuan, ternyata Embaba tidak jauh berbeda dengan Distrik 10, hanya saja di sana rumah-rumah penduduk tidak seperti di Distrik 10 tempat tinggalku di Mesir. Kalau di Distrik 10 rumahnya dengan sistem flat, semua bangunan rumah sama, tidak ada yang kurang dari 3 tingkat, semuany di atas 3 tingkat. Tapi kalau di Embaba, ada yang 2 tingkat untuk satu rumah, ada juga yang berflat-flat.
***
Setibanya di Embaba, kami disambut dengan hangat oleh masyarakat sekitar. Rombongan kami pun dipimpin langsung oleh Ustadz kami Dr. Ahmad Hilmi, MA. Ustadz Ahmad sangat akrab sekali dengan orang-orang Mesir. Bahasa Arab Ammiyah nya juga luar biasa lancar. Sempat terjadi guyonan ketika di perjalanan menuju Embaba, pasalnya selama di perjalanan Ustadz Ahmad selalu menggunakan bahasa Arab Ammiyah, sehingga sopir yang membawa kami pun mengira kalau Ustadz Ahmad ini asli orang Mesir. “enta mashry wala’eh? ” tanya sang sopir. “ayyua, ana mashry ” jawab Ustadz Ahmad dengan enteng. Kami pun seketika tertawa mendengar jawaban Ustadz Ahmad. “Wallah? Enta mashry? ” tanyanya lagi dengan raut muka penasaran. Ustadz Ahmad pun bertanyak balik. “Eih ro’yak ya kapten?” kemudian dijawab. “la’ah, wallah, enta musy mashry, shoh ?” Ustadz Ahmad pun hanya senyum sambil tertawa kecil. Seperti itulah Ustadz Ahmad, orang yang sudah lama sekali berada di Negeri Kinanah ini, hampir 20 tahun berkelana dan bergaul dengan orang Mesir, jadi bahasa dan gayanya pun seperti orang Mesir. Aku pun yang baru tiba di Mesir akhir April lalu masih sangat sulit sekali mengerti percakapan Ustadz Ahmad dan sopir mobil. Makanya tidak heran, ketika orang Mesir menyambut kami dengan begitu hangatnya, karena hubungan Ustadz Ahmad dan juga IPQI dengan orang-orang Mesir sangat baik.
***
Setelah selesei sholat maghrib, kami langsung diajak menuju tempat acara. Dari kejauhan, terlihat lampu warna warni menghiasi tempat acara. Lantunan ayat suci Al-Qur’an pun menggema dari kejauhan. Suasana malam di musim panas pun terasa begitu indah. Bintang-bintang di langit pun mulai bermunculan. Angin yang berhembus membelai tubuhku, terasa begitu sejuknya. Setelah sampai di tempat acara, muncullah kekagumanku dengan budaya Mesir. Tenda yang biasanya kalau di Indonesia selalu ada atapnya, namun sebaliknya, di Mesir tenda itu tertutup tanpa atap. Yang membuat tenda itu istimewa adalah terdapat ornamen-ornamen khas Mesir yang terpampang di sekeliling dinding tenda itu. Dan yang membuatku terkejut, ketika sampai di tempat acara, kami langsung dipersilahkan untuk menyantap hidangan khas Mesir. Ini adalah pertama kalinya aku menyantap hidangan khas Mesir, karena selama beberapa bulan di Mesir aku hanya makan masakan Indonesia. Menariknya, di setiap meja ada tungku api yang di atasnya daging yang sudah direbus terlebih dahulu. Jadi, rata-rata makanan yang ada di meja saat itu, tanpa ada minyak. Ini adalah pemandangan langka bagiku. Kulihat di sudut tenda, seorang pelayan minuman dengan santunnya menghantarkan minuman ke meja kami. Ada banyak macam minuman, mulai dari jus buah hingga teh hangat khas Mesir. Malam itu kami benar-benar seperti raja yang sangat dihormati dan dilayani dengan baik. Momen yang langka ini tentu tak kuabaikan begitu saja, sejurus kemudian kukeluarkan kamera handphoneku, dengan bantuan orang Mesir, kami abadikan momen langka itu. Sampai saat ini, foto itu tetap terjaga dengan baik. Satu hal lagi yang membuatku heran, malam itu bukan hanya acara Nisfu Sya’ban saja, ternyata ada acara pesta pernikahan. Pantas saja, hiasan-hiasan di sekitar tenda begitu meriah.
“Yallah ta’al!!! ’ kita tampil sekarang” ajak Ustadz Ahmad. Seketika diriku terkejut, kok baru sekarang tampilnya? Kenapa tidak tampil sebelum makan? Tanyaku dalam hati. Aku memang punya kebiasaan khusus dari Indonesia, ketika selesai makan, maka bagaimanapun juga aku tidak mau jika disuruh untuk tarik suara, khususnya Tilawah atau Ibtihalat. Bagiku itu adalah beban yang sangat berat, karena suara itu akan terasa berat ketika kita baru saja selesai makan. Tapi malam ini, tak bisa kuhindari. Jika tidak, aku akan kehilangan kesempatan langka yang tak bisa dimiliki oleh setiap orang, tampil di depan orang Mesir.
Kuamati di sekelilingku. Semua orang terpaku, terjurus dalam satu pandangan. Para punggawa IPQI yang berseragamkan koko biru menjadi pusat perhatian setiap orang yang ada saat itu. Kami bak artis, yang tampil di hadapan para penggemarnya. Kulihat di setiap sudut, terdapat kameraman yang meliput acara ini. Ternyata acara ini diliput oleh salah satu stasiun televisi di Mesir. Hatiku semakin bangga. Baru kali ini penampilanku diliput oleh stasiun televisi, dan yang lebih membanggakan, ini di luar negeri lho. Setelah diperkenalkan oleh MC, kami pun bersiap-siap dengan Ibtihalat andalan kami, al-Mukhtar . Jujur, saat itu hatiku bercampur antara senang dan takut. Senang bisa tampil di depan orang-orang Mesir, takut karena aku hanya hafal sebagian saja dari sholawat al-Mukhtar itu. Terdengar suara gemuruh para jama’ah ketika kami tampil. Mereka tak henti-hentinya meneriakkan kata-kata kebaikan, mendoakan kebaikan buat kami. Barakallah ya Syaikh, Allah yubarik fik, Allah yaftah alaik. Dan berbagai macam kalimat-kalimat kebaikan yang mereka lontarkan saat kami tampil. Suasana malam itu benar-benar membuatku terharu. Tak pernah kudapatkan sebelumnya.
Aku bersyukur sekali malam itu, pengalaman yang luar biasa telah aku dapatkan. Terlihat senyuman yang lebar dari Ustadz Ahmad, tampaknya beliau begitu bangga dengan kami, karena bisa tampil dengan sukses.
***
“Kamu ikut ke Aswan ya, kita besok tampil di sana” ucap Ustadz Ahmad. Kupastikan aku tidak salah dengar, kutanyakan lagi kepada Ustadz Ahmad. “yang benar ne Ustadz ana ikut ke Aswan?” tanyaku. “ya, malam ini kamu ikut ke Aswan. Kita berangkat jam 12 malam dari Ramsis.” Jawab Ustadz Ahmad. Subhanallah, malam itu benar-benar istimewa sekali bagiku. Aku yang baru sepekan bergabung di IPQI diberi kepercayaan untuk ikut tampil di Aswan. Aswan adalah sebuah Provinsi yang terletak di bagian Selatan Mesir dan juga berbatasan dengan Negara Sudan. Aswan merupakan Provinsi yang letaknya paling jauh dari Ibu Kota. Negara Mesir yang luas wilayahnya 997.739 km persegi atau lebih besar dari pulau Kalimantan ini menjadikan jarak tempuh antara Kairo-Aswan hanya 12 hingga 15 jam dengan menggunakan kereta api.
“siapa saja yang ikut ke Aswan, Ustadz?” tanyaku. “kamu, Sholah, Taufiq, Edo, dan Pak Hasan” jawab Ustadz Ahmad. “lho, Ustadz sendiri tidak ikut?” tanyaku lagi. “tidak, kalian berlima saja yang ke Aswan” jelas Ustadz Ahmad. Malam itu kami hanya berlima saja yang pergi ke Aswan. Kami berangkat dari Stasiun Kereta Api Ramsis dengan menumpangi Kereta Eksekutif. Jujur, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku menumpangi kereta api. Selama di Indonesia, aku belum pernah sekalipun berpergian dengan kereta api.
***
06 Agustus 2009
Perjalanan pun dimulai. Tepat pukul 00.10 kami berangkat dari Ramsis menuju Aswan. Perlahan-lahan kereta yang kami tumpangi mulai bergerak meninggalkan Kairo. Malam itu menjadi momen bersejarah dalam hidupku. Kulihat kertas persegi empat yang diberikan bang Sholah padaku. “ini tiketnya, jangan sampai hilang ya” pesannya. Kuamati satu persatu kata-kata yang ada di tiket itu. Ketika sampai pada kata tujuan, kuamati lagi dengan seksama. “bang, ini tujuannya benar ke Darau?” tanyaku. “iya, kita hanya di Darau, bukan Aswan. Jangan takut, nanti kita main ke Aswan, karena jaraknya tidak jauh dari Darau, cukup 15 menit saja dengan tremco ” jawab bang Sholah. “hah!!!, jadi kita ke Darau, bukan ke Aswan, bang?” Bang Sholah hanya tersenyum.
Ada kekecewaan dalam hatiku, karena dari awal aku mengira akan tampil di Aswan. Aku pernah mendengar cerita kakak-kakak senior IPQI, tampil di Aswan adalah hal yang paling menyenangkan. Selain itu juga bisa berwisata di sekitar Aswan. Itulah yang menjadi kekecewaanku. Namun kekecewaan itu tidak berlangsung lama, karena aku ingat bahwa perjalananku ini adalah yang pertama, dan ini tidak sembarang orang bisa mendapatkannya. Aku pun tak ingin menjadi orang yang kufur nikmat. Satu hal lagi, perjalananku ini gratis, karena dibiayai oleh pihak penyelenggara di Darau.
“dihafalkan ya, ini sholawat yang akan kita baca besok” tegur bang Sholah sambil memberikan kertas kumpulan sholawat. Di sepanjang perjalanan, aku sibuk menghafalkan sholawat yang belum aku hafal. Ada satu hal yang membuat tidak nyaman di perjalanan, AC kereta malam itu tidak bisa dikecilkan apalagi dimatikan. Wal hasil, aku pun berjuang dengan satu sorban yang dipinjamkan bang Sholah untuk melawan dinginnya AC. Kulirik jam di handphoneku, pukul 01.35. Kulihat suasana di luar, kebetulan aku mendapat bangku yang berada di samping jendela. Rasa kantuk pun mulai menyerang, kurebahkan badanku, aku pun tertidur.
***
Dingin AC itu lagi-lagi membuat mataku tersiksa. Aku tak bisa tidur. Berkali-kali kulipatkan kaki dan badanku agar terasa hangat, namun rasa dingin itu tetap saja menyerangku. Aku hanya bisa pasrah. Kulirik lagi jam di handphoneku. Ternyata tinggal beberapa menit lagi waktu subuh. Kutengok abang-abangku, mereka juga sepertinya tak bisa tidur karena dinginnya AC malam itu. Ada yang sibuk dengan MP3nya, ada yang sibuk berchating ria, ada juga yang menikmati dinginnya AC. Kulihat pula pak Hasan, ternyata beliau saja yang bisa tidur nyenyak, karena menggunakan jas hitamnya untuk menyelimuti tubuh. Setelah sholat subuh pun, dinginnya AC masih terasa. Tak ada pilihan lain, selain kupaksakan mataku untuk tidur.
Silaunya cahaya matahari pagi yang mulia menyinari alam jagad raya ini membangunkanku dari tidur. Kulirik jam di handphoneku, 08.35. kulemparkan pandanganku ke luar melalui jendela. Terpampang luas bukit-bukit tandus tanpa penghuni di sepanjang rel yang kulalui. Ini adalah pemandangan langka bagiku. Hanya sesekali terdapat rerumputan yang berubah warnanya menjadi kuning kecoklatan. Sungguh pemandangan yang belum pernah kutemukan sebelumnya di Indonesia.
***
“lagi di perjalanan menuju Darau, Aswan” tulisku di status Yahoo! Messenger dan jejaring sosial Facebook via handphoneku. Kunikmati pagi itu dengan berchating ria, juga berbalas komen di status facebookku. Berbagai reaksi dari teman-teman facebook. Ada yang memberikan doa selamat, ada yang hanya memberikan jempolnya. Sangking seringnya handphoneku untuk chating, tak terasa batrainya lemah. Tak lama kemudian, handphoneku non-aktif alias mati. Kubangunkan badanku, kulihat abang-abangku yang sebagian masih terlelap tidur. Tapi aku tak mendapatkan pak Hasan dan bang Sholah di kursinya. Kemanakah mereka? tanyaku dalam hati. Kudengar sayup-sayup dari belakang gerbong kereta, sepertinya ada orang yang sedang melantunkan Ibtihalat. Kutelusuri suara itu, ternyata pak Hasan dan bang Sholah sudah berada di kantin kereta. Kulihat di sekeliling kantin, orang-orang Mesir khusyuk mendengarkan Ibtihalat yang dilantunkan bang Sholah. Aku pun bergabung dengan mereka, sejurus kemudian disodorkannya teh hangat oleh penjaga kantin.
“ayo semuanya, siap-siap, sebentar lagi kita akan sampai di mahatthah Darau” ajak pak Hasan. Perlahan kereta yang kami tumpangi mulai melambat, dan berhenti. Para penumpang pun mulai keluar meninggalkan kereta. Kulihat jam dinding di stasiun, 12.30.
“Allah, panasnya luar biasa” ucapku dengan mata menyipit. Aku tak menyangka begitu panasnya udara saat itu. Aku merasakan ada api di depan mukaku, karena sangking panasnya. Apalagi ditambah angin yang bertiup saat itu. Serasa terbakar mukaku. Untung aku mengalungkan sorban, jadi sorban itu aku buat untuk melindungi sengatan langsung matahari. Ternyata panas di Kairo belum seberapa dibandingkan dengan panasnya Darau.
Kulihat di pinggir jalan, mobil matrix menunggu kami. “kita sekarang akan menuju ke rumah Sayyid Idris, kita akan menginap beberapa hari di sana” jelas pak Hasan. Menurut pak Hasan, Sayyid Idris masih keturunan dari Rasulullah SAW. yang tinggal di Mesir. Satu lagi kejutan yang menggembirakan hatiku. Aku akan bertemu dengan keturunan Rasulullah SAW., walaupun jaraknya dengan Rasulullah SAW. sangat jauh. Butuh waktu 10 menit untuk sampai ke kediaman Sayyid Idris dari stasiun kereta. Tampak di halaman depan rumah orang-orang yang sibuk memasang tenda. Ketika sampai di kediaman Sayyid Idris, yang pertama kali aku lihat, sebuah bangunan yang mirip seperti pesantren di Indonesia, terdapat bedeng-bedeng kamar yang dihuni oleh orang-orang dewasa. Aku sempat bingung, sebenarnya ini tempat penampungan pengungsi atau semacam pemondokan seperti pesantren-pesantren yang ada di Indonesia.
Seperti biasa, ketika sampai di tempat, kami langsung dipersilahkan untuk makan siang. Kali ini menunya tak jauh beda dengan makanan yang dihidangkan di Embaba, hanya saja tidak ada tungku api dengan daging di atasnya. Semua sudah tersaji dengan rapi. Sejurus kemudian, semuanya terhanyut dalam kelazatan makanan khas Mesir.
***
“setelah ini kita istirahat, karena nanti malam kita akan tampil” ucap pak Hasan. “kamu jangan lupa dihafalin lagi sholawatnya yang belum hafal, oke” tambah pak Hasan. “siap pak, insya Allah nanti malam sudah hafal” jawabku.
Tak pernah kubayangkan sebelumnya, betapa panasnya udara di sini. Angin yang berhembus pun seperti tiupan api yang menjalar ke tubuh. Untungnya siang itu kami langsung ditempatkan di kamar khusus untuk tamu yang ber-AC.
Tak terasa adzan ashar pun berkumandang. Kubangkitkan badanku, untuk segera menunaikan sholat ashar berjama’ah. Setelah sholat ashar, aku kembali ke kamar, ternyata di kamar sudah berkumpul beberapa orang Mesir yang sedang mendengarkan pak Hasan membaca Qur’an. Tak jarang orang Mesir meneriakkan takbir, ketika di akhir bacaan. Pak Hasan memang jago dalam Tilawah Qur’an. Beliau sering mengngaji sebelum jum’at di masjid-masjid orang Mesir. Beliau juga kerap kali mengisi undangan baca Qur’an di acara-acara orang Mesir. Beliau juga salah satu pendiri IPQI, yang didirikan pada tahun 1996 lalu. Sosok yang berdarah Sulawesi ini juga pernah bekerja di KBRI Kairo. Malam ini beliau akan tampil solo pada pembukaan acara. Makanya beliau latihan di kamar, tak ingin ada kesalahan ketika membaca nanti.
***
Sayup-sayup terdengar dari kamar suara cek sound di luar. Setelah sholat maghrib, kami semua bersiap-siap menuju tenda acara. Setibanya di tempat acara, lagi-lagi kami disambut bak raja yang sangat dihormati, kami ditempatkan di barisan kursi depan. Kuamati dari kejauhan, segerombolan orang sibuk mengatur jalan, karena ada seseorang yang mereka lindungi dari kerumunan penduduk setempat. Orang itu adalah Sayyid Idris. Masyarakat sekitar berebut-rebutan agar bisa bersalaman dengan Sayyid Idris. Fenomena ini sering aku jumpai di Indonesia, tak kala ada pejabat yang datang berkunjung di suatu daerah. Atau ketika ada Da’I kondang yang datang di sebuah perkampungan. Ternyata di mana pun tempat sama saja, gumamku.
Satu persatu kami disalami oleh Sayyid Idris. Kurasakan betapa halusnya tangan beliau. Hanya saja aku tak sempat berpelukan dengannya. Beliau duduk persis di sebelah kiri pak Hasan. Kuamati sekeliling tempat acara, di setiap sudut kudapati kameraman yang meliput acara saat itu. Bahkan di bagian kiri depan, terpajang layar besar yang langsung dihubungkan dengan kamera. Ternyata acara malam itu diliput juga oleh stasiun televise Mesir.
Malam itu cuaca cukup bersahabat. Bintang-bintang pun seolah-olah ingin ikut serta meramaikan acara. Angin yang berhumbus pun tak terasa panas seperti di siang hari. Kulihat di beberapa tempat terdapat kipas angin yang berkekuatan tinggi. Tak lama kemudian acara dibuka. Kemudian sang MC mempersilahkan pak Hasan agar maju ke panggung untuk melantunkan ayat suci al-Qur’an. Malam itu pak Hasan membaca ayat andalannya, surat al-Baqarah ayat 284 hingga akhir surat. Seperti biasanya, suara gemuruh takbir menggema di mana-mana saat pak Hasan membacakan ayat suci al-Qur’an. Berbagai macam do’a dan juga pujian datang untuk pak Haras. Malam itu, tak hanya IPQI yang berbangga hati, tapi juga Indonesia. Nama Indonesia menggaung di langit Darau. Aku pun tak henti-hentinya bersyukur, bisa menyaksikan kesempatan yang langka ini.
Setelah selesai pembacaan ayat suci al-Qur’an, acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Salah satunya dari Gubernur Provinsi Aswan. Aku tak menyangka, ternyata acara ini juga dihadiri oleh Gubernur Provinsi Aswan. Semakin bertambahlah kebahagiaanku. Maklum, aku adalah orang desa yang jarang ketemu dengan pejabat. Acara malam itu semakin ramai dikunjungi orang. Baik tua maupun muda.
***
“Hadirin yang berbahagia, kita tampilkan Ibtihalat dari IPQI Mesir” begitulah kira-kira ucap sang MC. Dengan suara merdunya, bang Sholah memulai tampilan kami. Sejak awal sebelum tampil, aku selalu khawatir, takut jika nanti ketika tampil tidak bisa berbuat maksimal. Namun kekhawatiran itu terbantahkan, Alhamdulillah malam itu aku dan kawan-kawan bisa tampil dengan baik dan lancar. Layaknya band-band di Indonesia, ketika selesai tampil, pasti penonton selalu teriak histeris, terharu dan bangga. Begitu juga kami, walaupun aku tak mau disamakan dengan band, masyarakat yang menyaksikan penampilan kami, seketika juga berteriak meneriakkan takbir. Aku benar-benar terharu malam itu.
Acara pun masih berlanjut, mulai dari taujihat dari syaikh-syaikh Azhar, hingga berbagai macam penampilan khas Mesir yang disuguhkan pada malam itu. Tak ada kata-kata yang pantas kuucapkan malam itu, selain memuji kebesaran Allah. Sungguh, suatu keberuntungan bagiku bisa menyaksikan momen yang langka ini.
Akhirnya selesai juga, kulirik jam di handphoneku, ternyata sudah jam 00.45.Wajar saja mataku sudah protes dari tadi, ternyata sudah waktunya tidur. Kurebahkan badanku di atas ranjang. Sejurus kemudian aku terlelap. Tak sadarkan diri.
***
07 Agustus 2009
Hari ini rencananya kami akan berkunjung ke kota Aswan. Kebetulan bang Sholah punya teman di sana. Setelah membereskan kamar, kami pun bersiap-siap untuk berangkat ke kota Aswan. Namun, tiba-tiba saja kami diberi tahu oleh penanggung jawab kami, bahwa malam ini kami diminta untuk tampil di Isna . Seketika muncul kekecewaan di raut muka kami. Terutama aku, karena di antara kami yang belum berkunjung ke kota Aswan hanya aku sendiri. Angan-anganku untuk bisa menyaksikan kehebatan Mesir dalam membuat bendungan yang sangat terkenal di negeri ini jadi sia-sia. Bendungan itu dinamakan The High Dam. Pagi itu kami mengadakan rapat dadakan. Ada yang mengusulkan kita tetap ke Aswan tapi dengan kensekuensi pulang ke Kairo tanpa diantar, alias bayar sendiri. Namun ada juga yang pasrah, karena jika dipaksakan ke Aswan, maka tidak akan bisa pulang lagi ke Kairo. Terutama aku. Aku sama sekali tak membawa uang yang cukup untuk ongkos pulang ke Kairo. Akhirnya kami berempat sepakat untuk tidak ke Aswan. Mulai dari pagi hingga menjelang sholat jum’at, kami hanya bersemedi di dalam kamar. Aku sendiri sibuk dengan handphoneku, berchating ria.
“Sholah, saya pulang duluan ya ke Kairo. Ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Kalian berempat saja di sini. Masalah pulang ke Kairo, nanti mereka yang mengongkosi. Jangan khawatir, insya Allah aman-aman saja.” Ucap pak Hasan pada bang Sholah. “insya Allah saya akan pulang setelah sholat jum’at nanti” tambahnya. Bang Sholah tak banyak berkomentar. Dia hanya berdoa agar dimudahkan perjalanan pak Hasan pulang ke Kairo.
Setelah sholat jum’at, ternyata acara semalam masih ada kelanjutannya. Aku tak tahu apa nama acara itu. Yang jelas jika dibandingkan dengan Indonesia, acaranya mirip seperti acara berzanji, membaca sholawat dengan diiringi dub . Setelah acara selesai, kami saling bersalam-salaman antara satu dengan yang lain. Saat aku bersalaman dengan Sayyid Idris, tak kusia-siakan lagi kesempatan itu untuk memeluk tubuh sang Sayyid. Aku rasakan ada kesejukan tersendiri ketika tubuh ini benar-benar bisa memeluk tubuh Sayyid Idris. Tangannya yang halus dan wajahnya yang teduh, membuat diriku serasa enggan untuk melepaskan pelukan itu. Aku bergumam dalam hati, apakah Rasulullah SAW. dulu juga seperti ini ya? Mungkin inilah jawaban dari kekecewaanku tidak jadi berkunjung ke Aswan.
Seperti biasa, ketika kami kembali ke kamar, jamuan makan siang pun sudah tersedia. Siang itu kami hanya menghabiskan waktu di dalam kamar saja. Karena mau keluar pun cuacanya sangat panas sekali. Mungkin di atas 45 derajat. Aku pun sibuk memainkan keypad handphone dengan jari tanganku, main game. Lelah main game, kulanjutkan dengan chating dan berbalas komen.
***
Setelah sholat maghrib, kami diberitahu bahwa selepas sholat isya’ nanti, rombongan dari Darau, termasuk kami, akan berangkat ke Isna. Dalam benakku terus bertanya-tanya, ada kejutan apa lagi jika nanti sampai di Isna. “bang, berapa lama ya dari Darau ke Isna?” tanyaku. “abang nggak tahu, dek. Kalo yang abang dengar, kita akan melewati Luxor. Jadi kalau dari Aswan, Isna itu setelah Luxor.” jawab bang Sholah.
Luxor adalah sebuah Provinsi yang sangat terkenal dengan Luxor Tample-nya. Biasanya masyarakat Indonesia di sini, jika berwisata ke Luxor, selalu yang dicari adalah kapal pesiarnya. Aku sendiri belum pernah menyaksikan kehebatan Luxor. Hanya saja, jika melihat foto-foto senior yang sudah berkunjung ke Luxor, tempat wisatanya luar biasa bagusnya.
***
“ayo semuanya, kita siap-siap. Kita disuruh menunggu di depan tu” ajak bang Sholah. Kami segera bergegas mempersiapkan diri. Tampak di teras-teras bangunan berkumpul orang-orang tua yang sibuk ngobrol. Aku jadi teringat dengan panti jompo di Indonesia yang dihuni oleh orang-orang tua. Seperti itulah suasana saat itu.
“sebenarnya ini tempat apa ya bang?” tanyaku pada bang Sholah. “abang juga nggak tahu, dek.” Jawabnya. Aku jadi semakin penasaran. Sebenarnya orang-orang tua itu siapanya Sayyid Idris ya?. Apakah mereka masih kerabat Sayyid Idris? Jika bukan, siapakah mereka sebenarnya? Lalu mengapa Sayyid Idris mengumpulkan mereka dalam satu tempat? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benakku itu sampai sekarang belum aku temukan jawabannya.
Sudah hampir setengah jam kami menunggu. Rombongan pun tak berangkat-berangkat. Aku mulai jenuh. Kulihat jam di handphoneku. 22.10. Benar kata pepatah, “hal yang paling membosankan adalah menunggu”. Menunggu juga sangat melelahkan, seperti dalam liriknya Zilvia “menunggu, sesuatu yang sangat melelahkan bagiku”.
“ternyata kita ini menunggu Sayyid Idris yang lagi di luar” terang bang Sholah. Hufh… Aku hanya bisa pasrah. Menunggu sampai waktunya tiba. Setengah jam kemudin, ada beberapa mobil elit, masuk ke pekarangan rumah Sayyid Idris. Ternyata itu adalah rombongan Sayyid Idris. Akhirnya penantian kami terjawab.
Tak lama kemudian, Sayyid Idris dan rombongannya keluar dari kediamannya. Kami pun akhirnya berangkat juga menuju Isna. Kulirik handphoneku, ternyata jam yang tertera di handphoneku menunjukkan pukul 23.05. Aku bertanya-tanya dalam hati. Jam segini baru berangkat, kira-kira jam berapa ya kami akan tampil? Kayaknya bakalan jadi pertualangan yang seru malam ini, gumamku.
Di sepanjang perjalanan, aku hanya menggerutu dalam hati. Jujur, sebenarnya aku sanggat lelah sekali. Untuk menghibur diriku yang jenuh, aku memanfaatkan eBuddy di handphoneku untuk berchating ria.
***
08 Agustus 2009
Tak terasa sudah satu jam kami berada di perjalanan. Hari pun sudah berganti. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati, kapan sampainya, ya? Aku mulai bosan dengan eBuddy, karena sebagian besar teman-teman di forum chating, sudah mulai meninggalkan eBuddy.
Kulihat ke depan, mobil yang ditumpangi Sayyid Idris masuk ke sebuah perkampungan. Di sepanjang tepi jalan, terhampar indah sungai Nil. Menara-menara masjid pun dihiasi dengan lampu warna-warni. Kelap-kelip bintang-bintang di langit pun seolah-olah tidak mau kalah denga lampu warna-warni. Bulan pun tak mau kalah, dialah sang penguasa cahaya malam itu. Dengan kehebatannya, dia bisa menyinari seluruh isi perkampungan itu, bahkan bisa menerangi negeri ini.
Aku mulai melihat sebuah keramaian di ujung jalan. Tampaknya tak akan lama lagi sampai di tujuan. Dugaanku benar. Perlahan mobil yang ada di depan kami mulai berhenti. Kulihat Sayyid Idris keluar dari mobil. Seperti biasa, masyarakat pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu untuk berjabat tangan langsung dengan beliau. Kami pun demikian, ketika kami turun, sebagian orang dewasa menyambut kami dengan ramah. Kudengar di sepanjang jalan menuju tempat acara orang-orang Mesir mengucapkan selamat datang pada kami. Tak jarang orang-orang dewasa maupun anak-anak kecil memanggil kami Shinny . Aku heran, kenapa orang Mesir selalu memanggil kami Shinny. Ketika di Kairo, aku sering dipanggil Shinny oleh orang Mesir. Padalah, jelas-jelas kami orang Indonesia. “ihna musy Shinny, ihna Andunisi ” terangku. Mungkin karena mataku yang sipit ini, jadi orang-orang Mesir sering memanggilku Shinny, padahal mataku tidak sesipit orang Cina.
Seperti halnya ketika kami sampai pertama kali di Embaba, atau di Darau, kami langsung dijamu makan malam. Kulihat jam di dinding rumah, jam menunjukkan pukul 01.10. Yang terlintas dipikiranku, kayaknya kami tidak akan tampil, karena waktu sudah cukup larut malam. Abang-abangku pun berpikiran yang sama. Kami pun menyantap hidangan dengan lahap, tanpa ada beban untuk tampil.
Setelah semuanya selesai menyantap hidangan, Sayyid Idris dan rombongan serta kami meninggalkan rumah menuju tempat acara. Kebetulan jarak rumah yang menyediakan makan malam dengan tempat acara tidak terlalu jauh. Kulihat dari kejauhan, tampak begitu meriah, walaupun kali ini tanpa tenda. Suasananya benar-benar suasana perkampungan. Sound system yang digunakan membuat aku berkali-kali menutup telinga, karena volumenya berkadar tinggi.
***
Acara pun dimulai. Saat inilah kejutan itu kembali terjadi. Kami yang baru saja menyantap hidangan dengan lahap, tiba-tiba diminta tampil. Kami tak sedikit pun mengira akan tampil malam itu. Karena saat itu waktu sudah sangat larut malam. Pukul 01.45. Kuserahkan semunya itu pada keputusan bang Sholah. Bang Sholah pun tampaknya keberatan. Akhirnya dengan sisa tenaga yang ada dan dengan kepercayaan diri yang kuat, kami putuskan untuk tampil. Begitu kami tampil, respon masyarakat yang menyaksikan sangat luar biasa. Walaupun waktu sudah sangat larut malam, tapi masyarakat tetap bersemangat memeriahkan acara itu.
Dengan suara khasnya, malam itu bang Sholah menggemparkan perkampungan yang berada di kota Isna. Kami pun dibuat bersemangat dengan penonton, karena mereka juga sangat antusias sekali menyaksikan kami. Aku lagi-lagi bersyukur dalam hati. Ternyata semuanya itu tidak seperti yang aku bayangkan. Sungguh menakjubkan.
Acara itu berakhir pukul 03.00 dini hari. Kami pun segera pulang ke Darau. Di sepanjang perjalanan pulang, kumanfaatkan waktu itu untuk istirahat. Tak kuhiraukan lagi obrolan orang-orang Mesir yang satu mobil bersama kami. Aku pun mulai terlelap. Tak sadarkan diri.


***
“dek, bangun, kita sudah sampai di Darau” bang Sholah membangunkanku. Tak lama kemudian terdengar suara adzan subuh. Pejalanan malam itu membuatku kelelahan, sehingga setelah sholat subuh, aku pun meneruskan tidurku yang sempat terpotong.
Sayup-sayup kudengar suara orang mengaji. Suara itu sepertinya familiar di telingaku. Kubangunkan badanku, lalu kupicingkan mata sipitku, ternyata pemilik suara merdu itu bang Sholah. Kulihat di sampingnya, orang Mesir yang menjemput kami ketika di stasiun kereta Darau sambil memegang kamera handphone. Ternyata orang tersebut sedang merekam suara merdu bang Sholah. Aku pun sekarang benar-benar sudah terbangun. Kulihat dua abangku yang lain. Bang Edo juga khusyuk mendengarkan lantunan ayat suci al-Qur’an dari suara merdu bang Sholah. Hanya bang Taufiq saja yang masih tertidur.
Kulirik jam di handphoneku. 11.15. Segera kucukupkan tidurku. Lalu beranjak ke hamam untuk bersih-bersih. Karena siang ini, kami akan pulang ke Kairo. Tak terasa, akhirnya akan berakhir juga pertualanganku.
***
“yallah ya gama’ah, ihna nargi’dil wa’ti, yallah bisur’ah ” suara itu memecahkan suasana makan siang kami. “istanna suwayya, ya amm ” jawab bang Sholah. “kita tidak punya waktu lagi, mobil sudah menunggu kalian dari tadi” jelas ammu Hamadah. Ammu Hamadah lah yang bertanggung jawab untuk kepulangan kami. Akhirnya dengan tergesa-gesa, kami meninggalkan kamar. Aku yang baru makan sedikit, tak menyia-nyiakan makanan yang ada. Aku bungkus daging kesukaanku untuk dimakan di kereta nanti. Kejadian ini tidak akan terjadi jika makan siang kami tidak terlambat. Wal hasil, ketika kami sedang makan, jemputan kami sudah menunggu di luar. Dan kuakui, waktu memang sudah sanggat mepet, karena kami harus segera mengejar jadwal kereta.
Kulihat mobil matrix yang menjemput kami beberapa hari yang lalu sudah menunggu. Beberapa menit kemudian kami sampai di stasuin kereta Darau. Panasnya siang itu seperti sebelum-sebelumnya. Sorban yang dipinjamkan bang Sholah kupakai untuk menutupi sengatan langsung matahari. Lagi-lagi angin yang berhembus saat itu, bagaikan api yang membelai tubuh ini. Sungguh begitu panasnya cuaca saat itu. Aku tak habis pikir, bagaimana masyarakat di sini bisa bertahan lama dengan cuaca seperti ini.
Tepat pukul 15.15, kereta perlahan-lahan mulai meninggalkan Darau menuju Kairo.
Tak ada cerita menarik selama di perjalanan pulang, hanya saja ketika sampai di stasiun kereta Isna, ada penumpang yang duduk di sebelah bangkuku. Dan ternyata, orang tersebut adalah seniman yang ikut tampil juga di acara malam itu di Darau dan juga Isna. Dia juga akan pulang ke Kairo. Jadilah, perjalanan pulangku kuhabiskan dengannya. Percakapan demi percakapan pun mengalir bagaikan air Nil. Hingga muncullah pertanyaan itu. “kamu sudah beristri?” tanyanya. Aku yang ditanya pun seketika tertawa. Aku juga heran, wajahku yang masih imut-imut ini kok bisa-bisanya ditanya apakah sudah beristri. Pertanyaan itu aku kembalikan padanya. Dia terdiam beberapa saat, lalu menjawab “belum, saya belum menikah” jawabnya. Lalu kutanyakan umurnya, dia jawab 40 tahun. Dia lalu menjelaskan, bahwa di Mesir ini biaya untuk menikah sangat tinggi. Harus benar-benar matang persiapannya jika ingin menikah. Kuhanya bisa berujar dalam hati “pantas saja sering kujumpai bapak-bapak tua yang anaknya masih kecil-kecil”. “aku sangat tertarik dengan gadis Indonesia” ujarnya. Aku hanya tersenyum. Aku tak ingin meneruskan obrolan ini, aku takut nanti dia akan semakin sedih.
***
“Ziz, ayo turun. Kita sudah sampai di Ramsis” bang Taufiq membangunkanku. “hah! Sudah sampai ya?” tanyaku “lho, orang di sampingku kemana?” Aku tak mendapati orang yang kuajak ngobrol selama di perjalanan. Mungkin dia turun di stasiun sebelum Ramsis.
Kulihat jam di handphoneku, 04.55. Sebentar lagi subuh. Ternyata benar, tak lama kemudian adzan subuh berkumandang. Kami segera sholat di masjid al-Fatah. Masjid yang terbesar di Ramsis.
O ya, aku belum sempat memperkenalkan diri. Namaku Abdul Aziz, biasa dipanggil Aziz. Aku mahasiswa Universitas Al-Azhar fakultas Syari’ah jurusan Syari’ah Islamiyah yang datang ke Mesir tanggal 29 April 2009. Dan baru bergabung dengan IPQI Mesir awal Agustus 2009. Kecintaanku terhadap al-Qur’an lah yang mendorongku untuk bergabung dengan IPQI Mesir, selain aku juga memang punya skil di bidang tarik suara, khususnya Tilawah al-Qur’an.
Perjalanku akhirnya berakhir di Distrik 10, di mana tempat aku tinggal di Kairo. Tak kusangka, di musim panas ini berbagai macam kejutan kudapati. Hujan kejutan rupanya.

Kholish Blog's on Facebook